Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Tidak Ada Over Kriminalisasi dalam RKUHP


Oleh : Abdul Razak )*

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), sangat penting untuk segera disahkan, karena sudah melalui perjalanan yang sangat panjang dan sosialisasi yang cukup massif. Melihat isi dari RKUHP ini, meski pasalnya lebih banyak daripada KUHP yang saat ini berlaku, namun RKUHP justru memiliki pasal tindak pidana yang lebih sedikit. Hal ini menjelaskan bahwa dalam RKUHP tidak ditemukan over kriminalisasi.

Edward Omar Sharif Hiariej selaku Wakil Menteri Hukum dan HAM, mengungkapkan bahwa rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terdiri dari 37 bab. Jadi jumlah babnya persis sama dengan konstitusi. UUD 1945 juga berjumlah 37 pasal dan 16 bab, dan kemudian 632 pasal RKUHP yang terdiri dari 2 buku yaitu buku kesatu tentang aturan umum dan buku kedua (tindak pidana).

Eddy menjelaskan, di KUHP yang saat ini diterapkan, hanya ada 569 pasal. Sementara di RKUHP lebih dari 600 pasal. Penyebabnya, karena 2 buku dan 3 buku KUHP digabungkan dalam RKUHP saat ini.

Dirinya menjelaskan, ide penggabungan ini sebetulnya sempat mencuat pada 1970-an. Saat itu, penggagasnya yakni Prof. Sahetapy. Sempat ada kritik saat itu yang mempertanyakan mengapa RKUHP tidak dibuat tiga buku.

Lalu Prof Sahetapy bertanya balik, “Mengapa Saudara mengubah kode penal Perancis dari 4 buku menjadi 3 buku?” pertanyaan  itu tidak bisa dijawab.

Sejarahnya, Perancis memiliki 4 buku, buku satu tentang ketentuan umum, dua tentang crime, kejahatan. Ketiga delik dan keempat pelanggaran.

Sehingga, dengan dijadikan 3 buku saja, terjadi konsolidasi pasal di buku 2 RKUHP yang menjadikan pasalnya lebih banyak. Namun demikian, Eddy memastikan meski pasalnya banyak, tetapi jumlah pengaturan pidananya lebih sedikit.

Jadi ketika dia terdiri dari 2 buku lalu terjadi konsolidasi sehingga jumlah pasalnya lebih banyak. Sekali lagi hal ini dilihat dari jumlah pasal, bukan dilihat dari jumlah tindak pidana. Jadi jangan bingung. Jumlah pasal RKUHP yang baru ini lebih banyak, tapi dari jumlah pengaturan tindak pidana justru jauh lebih sedikit dari KUHP.

Oleh karena itu, ketika ada yang mengatakan adanya over kriminalisasi dalam RKUHP, artinya dia tiak menghitung atau tidak membaha RKUHP.

Draf final RKUHP sempat disampaikan oleh pemerintah ke DPR RI. Bahkan, santer terdengar akan segera disahkan.

Beberapa waktu lalu, Presidan Joko Widodo (Jokowi) memanggil Menkopolhukam Mahfud, Wamenkumham Eddy dan Menkominfo Jhonny G Plate untuk rapat internal membahas kelanjutan RKUHP beberapa waktu lalu. Ditemui usai rapat, Mahfud mengatakan Jokowi menyorotu 14 isu krusial RKUHP yang masih harus diperjelas.

Dalam rapat tersebut, Jokowi meminta pihak-pihak terkait untuk mensosialisasikan 14 isu krusial itu kepada masyarakat. Supaya masyarakat paham atas isu yang masih diperdebatkan saat ini.

14 isu krusial tersebut terdiri dari soal pasal hukum yang hidup dalam masyarakat (living law); pidana mati; penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden; menyatakan diri dapat melakukan tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib; hingga kohabitasi dan aborsi.

Benny Riyanto selaku Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) mengungkapkan RUU KUHP perlu segera disahkan untuk mengikuti pergeseran paradigma hukum pidana.

Menurut Benny, Indonesia membutuhka hukum pidana baru yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini.

Dirinya menjelaskan ada pergeseran paradigma dalam ajaran hukum pidana saat ini, yakni paradigma keadilan retributif menjadi paradigma keadilan yang mencakup prinsip keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif.

Benny mengemukakan rencana pengesahan RUU KUHP menjadi Undang-undang sebenarnya sudah disetujui pada rapat paripurna tahun 2019. Kendati demikian, Presiden RI Joko Widodo pada 23 September 2019 meminta kepada DPR untuk menunda pengesahan RUU KUHP bersama 3 RUU lainnya lantara rancangan tersebut masih menuai penolakan dari masyarakat.

Adanya RKUHP tentu saja dihadarapkan dapat menghasilkan hukum pidana nasional dengan paradigma modern tidak lagi berdasarkan keadilan retributif, tetapi berorientasi pada keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif.

Berbagai pro dan kontra yang muncul terhadap RKUHP ini terjadi karena berbagai persepsi dan kepentingan yang ada di masyarakat.

Atas dasar tersebut, pemerintah membuka ruang diskusi dengan berbagai elemen masyarakat untuk menghimpun masukan, menyamakan persepsi dan sebagai pertanggungjawaban proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara transparan serta melibatkan masyarakat.

Adapun dalam KUHP yang baru delik pidana penghinaan kepada Presiden baru bisa berjalan jika ada aduan dari pejabat presiden tersebut.

Pada pasal 218 RKUHP berbeda dengan pasal 134 KUHP dan membawa semangat dekolonisasi dan semangat demokratisasi. Ia beralasan, pasal 218 di RKUHP terbaru iini pengaturannya dibuat sebagai jenis delik aduan. Dengan kata lain, hanya presiden yang memiliki legal standing untuk mengadu, simpatisan atau pihak ketiga manapun muga tidak bisa melaporkan adanya penghinaan terhadap presiden ke polisi.

Selain itu, ancaman sanksi pidananya di bawah 5 tahun sehingga tidak dapat dilakukan penahanan, serta sanksinya tidak harus dipenjara, tapi bisa didenda.

Tentu tidak dibenarkan anggapan tentang over kriminalisasi dalam RKUHP, justru RKUHP membuat undang-undang menjadi lebih luwes dan sesuai dengan perkembangan zaman.

)* Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa Institute