Tegaskan Bagian NKRI, Kemerdekaan Papua Hanya Ilusi
Oleh: Frans Devaryo)*
Status Papua menjadi wilayah integral Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah final dan sah secara hukum internasional. Sebagai bagian integral dari Indonesia, jika berbicara tentang Papua, akan memperlihatkan perjalanan panjang menuju persatuan dan keberagaman yang menjadi dasar negara ini.
Panglima Kodam (Pangdam) XVII/Cenderawasih, Mayjen Izak Pangemanan menegaskan, tanah Papua merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI. Oleh karena itu, sebagai seluruh anak bangsa yang berjuang bersama untuk memajukan Indonesia, wajib bersama-sama menjaga keamanan di Tanah Papua.
Menurutnya, Bumi Cenderawasih yang di dalamnya terdapat enam provinsi itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI. Sehingga apa yang selama ini diungkapkan kelompok tertentu tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah menutup dekolonisasi Papua tanggal 1 Mei 1963. Dengan begitu, wilayah paling timur Indonesia tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dari NKRI. Karena itu, pihaknya mengajak masyarakat tidak lagi mempercayai kelompok tertentu yang masih berupaya memisahkan Papua dari NKRI. Kegiatan dengan membawa isu 'Papua Merdeka' yang dilakukan sekelompok masyarakat itu hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Sebelmnya, sempat terjadi aksi kericuhan saat jenazah mantan gubernur Papua Lukas Enembe dibawa ke Koya Tengah, Kota Jayapura dari Sentani, Kabupaten Jayapura yang berjarak sekitar 50 kilometer. Menurut Izak, ada aksi pelemparan hingga pembakaran yang didalangi anggota KNPB dan ULMWP yang menyusup di antara pelayat yang berjalan kaki. Mereka sengaja membuat ricuh dan menciptakan teror untuk menimbulkan rasa cemas di masyarakat. Langkah tersebut sebagai upaya KNPB dan ULMWP untuk menunjukkan eksistensinya di Papua. Mereka ingin memperoleh perhatian dan simpati dukungan masyarakat untuk menyuarakan kemerdekaan Papua. Padahal, status Papua sudah final dan mengikat sebagai bagian dari NKRI.
Pemerintah Pusat sendiri juga menegaskan tidak akan pernah mengadakan negosiasi dengan KST Papua mengenai adanya permintaan mereka untuk memerdekakan Bumi Cenderawasih dari NKRI. Bukan hanya terus mempertahankan wilayah di Tanah Papua saja, namun pemerintah juga berkomitmen penuh untuk mampu memberantas setiap pihak yang ingin mengambil bagian meski hanya secuil saja dari bangsa ini.
Sebenarnya, pembahasan sejarah Papua dalam konteks de jure (hukum) dan de facto (kondisi nyata) menjadi penting untuk memahami posisinya sebagai bagian tak terpisahkan dari Indonesia. Secara de jure, Papua telah menjadi bagian dari Indonesia sejak Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949. Pada KMB, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, termasuk wilayah Irian Barat (sekarang Papua). Namun, Belanda kemudian mengingkari pengakuan tersebut dan berusaha menjadikan Irian Barat sebagai negara boneka yang terpisah.
Untuk mengatasi hal tersebut, Indonesia melakukan berbagai upaya, termasuk melalui diplomasi dan konfrontasi. Pada akhirnya, Indonesia berhasil merebut Irian Barat dari Belanda melalui Operasi Trikora pada tahun 1962. Selanjutnya, pada tahun 1969, diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang diikuti oleh 1.024 orang Papua yang dipilih mewakili seluruh masyarakat Papua. Dalam Pepera tersebut, sebanyak 1.024 orang Papua secara aklamasi menyatakan bergabung dengan Indonesia.
Sejak itu, Papua menjadi salah satu provinsi Indonesia dengan segala hak dan kewajiban yang melekat pada status provinsi. Pembentukan UUD 1945 juga menggariskan kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia, termasuk Papua, sebagai bagian tak terpisahkan dari negara.
Secara de facto, Papua telah menjadi bagian dari Indonesia sejak lama. Sejak zaman dahulu, Papua telah memiliki hubungan dengan wilayah Indonesia lainnya, terutama dengan Maluku. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai ikatan budaya, ekonomi, dan sosial antara Papua dengan wilayah Indonesia lainnya.
Anggota Komisi I DPRRI, TB Hasanuddin mengatakan status Papua menjadi bagian NKRI sendiri sudah merupakan harga mati yang tidak bisa lagi dinegosiasikan. Maka dari itu, adanya kemerdekaan Papua yang dituntutkan oleh kelompok separatis dalam berbagai aksinya tentu tidak bisa diterima dan harus ditindak tegas aparat keamanan. Karena telah melanggar aturan dan perjanjian yang sudah jelas secara sejarahnya. Untuk itu, pemerintah sama sekali tidak akan pernah menanggapi negosiasi terkait dengan wilayah kesatuan Negara Republik Indonesia hanya untuk kepentingan segelintir orang saja. Berbagai aksi yang dilakukan oleh gerombolan teroris di Papua sama sekali tidak bisa mewakili masalah di Bumi Cenderawasih, namun hanya segelintir kelompok tertentu saja.
Meskipun berbagai upaya terus dilakukan pemerintah untuk memajukan Papua dan mengintegraasikan dalam struktur negara, isu separatisme masih saja muncul dari waktu ke waktu. Pemahaman mendalam tentang akar penyebab isu ini perlu dilakukan untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan.
Penanganan isu separatisme Papua memerlukan pendekatan holistik. Pendidikan, dialog, diskusi dan pemberdayaan masyarakat lokal menjadi kunci untuk membangun pemahaman yang kuat tentang keberagaman Indonesia. Dalam konteks ini, partisipasi masyarakat, termasuk tokoh masyarakat, tokoh adat, serta tokoh agama, akan sangat penting untuk mencapai kesepakatan yang bersifat inklusif
Oleh karena itu, komitmen serius pemerintah Indonesia terkait memajukan Papua menjadi bukti bahwa wilayah paling Timur tersebut merupakan jati diri dan identitas yang memperkaya keragaman bangsa. Papua telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Indonesia, baik secara de jure maupun de facto. Melalui pembangunan dan pemahaman bersama, serta Pembangunan yang berkelanjutan di Papua menjadi kunci untuk memastikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk saudara-saudara di Papua.
Dalam upaya membangun Papua yang lebih berkembang, penting bagi kita semua untuk terus memperkuat persatuan, menghormati keberagaman, dan menjaga keutuhan negara Indonesia. Papua bukan hanya bagian dari peta, tetapi juga bagian dari jiwa dan jati diri kita sebagai bangsa.
)* Penulis merupakan Mahasiswi Papua yang tinggal di Semarang